Harapan
Si Daun Kecil
Cerpen Karangan: Al
Hanif
Keadaaan semakin memanas. Sedikit gambaran
betapa tingginya derajat suhu yang tercipta dari terik sang mentari di
lingkungan itu. Tak tampak suasana kehidupan disana. Seolah-olah semua
organisme yang ada telah lenyap terbakar teriknya mentari. Kalau pun masih ada
yang tersisa, pasti mereka sedang mencari cara guna bertahan hidup dari
penyiksaan. Benar, penyiksaan berupa panasnya suhu lingkungan yang selalu
terjadi setiap kali kalender masehi berganti. Di sisi lain, pohon-pohon lebat serta
semak-semak subur telah menguning. Kehijauan yang semula tercipta sudah tak
ada. Hanya menyisakan ranting-ranting pohon yang rapuh yang tak kuat untuk
menopang kuatnya hembusan angin yang menerpa.
“Klekk..” Suara patahnya ranting pohon
terdengar nyaring. Walaupun itu hanya berupa ranting pohon yang seukuran jari
kelingking anak balita. Tampak seekor belalang yang membuat ranting pohon tadi
patah. Tanpa memedulikan ranting pohon yang patah, belalang itu terus melompat
untuk melanjutkan perjalanannya. Namun tak lama kemudian, Belalang itu berhenti
pada salah satu ranting pohon yang cukup kokoh. Di sana tanpa diduga, ia
melihat masih ada satu daun kecil bewarna hijau muda dan daun itu masih
menempel lengket di ranting pohonnya. Belalang menjadi heran, dalam hati ia
bertanya-tanya mengapa daun tersebut bisa bertahan. Kemudian si belalang
mengahampiri daun tersebut.
“Permisi daun kecil, apa yang kamu lakukan disini?” Tanya si belalang
“Tentu aku selalu disini, Tuan Belalang. Aku tak seperti engkau yang
bisa berpindah tempat dengan sesuka hati.” Jelas si daun tersebut
“Tapi, mengapa engkau tidak ikut ke bawah sana bersama teman-temanmu?”
Si belalang bertanya dengan menunjuk ke tanah.
“Kalau hal itu, aku tidak tahu kapan aku akan turun kesana. Semua itu
masih rahasia bagiku. Dan yang pasti, aku akan turun juga ke sana menemani
mereka.” Lagi-lagi si daun menjelaskan dengan lengkap kepada si belalang.
Seketika, Belalang pun terdiam setelah mendengar jawaban dari daun kecil
tersebut. Ia mencoba memahami makna yang terkandung dalam pernyataan yang
diucapkan daun kecil beberapa detik yang lalu.
Hembusan angin menerpa dengan membawa
beribu-ribu kesejukan. Cukup untuk membuat udara disekitarnya menjadi agak
dingin. Badan si daun kecil pun seolah-olah bergoyang mengikuti arah hembusan
angin. Si belalang masih diam, namun tak lupa menikmati udara sejuk yang
tercipta dari terpaan hembusan angin. “Jadi apa yang kamu lakukan di cuaca panas
begini?” Tegur si daun memecah keheningan.
“Aku hanya berjalan-jalan sambil mengamati keadaan lingkungan sekitar
sini.” Jawab si belalang yang mulai bisa menemukan rangkaian kata miliknya.
“Bagaimana hasil pengamatanmu, Tuan Belalang?” Tanya si daun dengan
bijak.
“Ya.., dapat engkau lihat sendiri disekelilingmu. Tanah berdebu serta
retak-retak menghiasi seluruh permukaan di bawah kita. Sementara itu,
tiang-tiang yang penuh kehijauan di atasnya, sudah tak lagi kutemui.” Tutur si
belalang kepada si daun.
“Sungguh keadaan yang buruk.” Kata si daun
“Terus, kapan semuanya berakhir? Hmmmm…” Tanya belalang sambil menghela
nafas panjang.
“Andaikan teman-temanku yang disana masih bergelantungan sepertiku,
mungkin penderitaan ini tidak separah ini.” Kata si daun dengan nada sesal.
Wajahnya pun tak henti-hentinya menatap ke tanah, tepat ke arah teman-temannya.
“Memang, apa yang terjadi dengan teman-temanmu? Bukankah jika sudah tua
mereka pasti akan gugur ke tanah pada akhirnya?” Tanya si belalang yang nampak
belum memahami pernyataan si daun.
“Anda benar Tuan, Tapi teman-temanku tak semuanya gugur secara alami.
Kebanyakan mereka gugur karena sebatang besi yang bergerigi tajam di seluruh
tepiannya. Besi itu yang memotong tiang-tiang kehijauan serta memaksa
teman-temanku berguguran lebih cepat.” Jelas si daun dengan nada lembut
walaupun dalam hatinya sangat sedih kehilangan teman-temannya.
“Maaf, jika pertanyaanku membuat engkau sedih, wahai daun kecil.” Ucap
si belalang.
“Tak apa. Aku harap organisme yang bisa mengendalikan besi mematikan itu
suatu saat sadar. Kalau aku beserta teman-temanku juga ingin hidup. Bukan cuma
hidup saja, aku juga ingin menjadi penyelamat kehidupan di permukaan bumi ini.
Tapi…”
“Tapi apa?” Tanya si belalang
“Tapi yang terpenting adalah mari kita berdo’a kepada Tuhan agar
menurunkan berkahnya dari langit.” Ujar si belalang sambil tersenyum penuh akan
harapan.
“Maksud engkau hujan?” Tanya si belalang masih belum mengerti.
“Tentu. Hanya hujan berkah paling nikmat dari Tuhan. Semua senang jika
hujan turun.” Jelas si daun.
Si belalang tersenyum mendengar perkataan
dari si daun. Ia merasa belum pernah bertemu sosok seperti si daun yang begitu
memahami akan kehidupan. Si belalang merasa tersentuh hatinya setelah mendengar
cerita dari si daun.
“Engkau memang bijak, wahai daun muda. Aku berhutang banyak kepadamu dan
juga kepada teman-temanmu” Puji si belalang. “Sudahlah.
Hidup bukan untuk menyuburkan sifat egois. Saling membantu antar sesama makhluk
Tuhan yang terpenting.” Terang si daun.
“Semoga apa yang engkau harapkan bisa terwujud.” Kata si belalang.
“Amin.” Ucap si daun.
Setelah cukup lama berbincang-bincang, mereka
berdua akhirnya mengakhiri pembicaraan dan berpisah. Si belalang meneruskan
perjalannnya, Sementara si daun tetap pada tempatnya, melekat di ranting pohon
sambil menikmati hembusan angin. Beberapa
hari kemudian, do’a serta harapan si daun pun di dengar oleh Tuhan. Dari langit
yang terselimuti awan hitam kelabu, turunlah hujan yang selama ini diharapkan
oleh si daun dan seluruh organisme di lingkungan kering dan tandus tersebut.
Dengan begitu kehidupan dan kehijauan di
lingkungan itu bisa di mulai kembali. Namun, jika besi-besi bergerigi tajam
masih bisa dijinakkan akan terasa sia-sia seluruh pengorbanan dan harapan si
daun beserta teman-temannya.
Nama : Lulu Nurul Muafiah
Kelas : IX E
Sekolah : MTsN 1 Serang
B.Studi : B.Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar